My Own Family and Me

My Own Family

Kami berangkat dari keluarga yang sangat terbatas, namun semangat, kepercayaan, dan insya Allah kejujuran yang selalu mengilhami setiap langkah kehidupan kami. Tak ada harta warisan yang kami terima. Bahkan sang kepala keluarga di keluarga ini, maaf, kata adiknya, tidak diakui oleh sang bapaknya. “Kula mboten gadhah anak”, demikian ungkap sang bapak tersebut di saat mengurus warisan yang diklaim sebagai milik adik tirinya.

(We set off from the family that was very limited, but spirit, trust, honesty and God willing, that always inspires us every step of life. There was no inheritance we received. Even the head of the family in this family, sorry, said his sister, not recognized by his father. “I had no child”, so said his father was at the time taking care of the legacy that was claimed as belonging to his half sister.)

Sepenggal kisah di atas memang ada. Widodo kecil, saat berumur 4 tahun sudah ditinggal sang bapaknya. Masih ingat dengan jelas, sang ibu mencoba menunjukkan kepada bapaknya, diusirlah Widodo kecil dari bapaknya. Setelah itu tidak lagi berhubungan dengan sang bapak. Dalam kelanjutannya, sang ibu menitipkan Widodo kecil ke budhenya yang kebetulan tidak mempunyai anak. Tinggallah Widodo kecil dengan budhenya selama 2 tahun, setelah itu dititipkan budhe yang lain lagi dan harus hijrah ke kota Solo tahun 1965. Lagi-lagi budhe ini juga tidak diberi keturunan, tidak memiliki ekonomi dan pendidikan yang beruntung. Oleh karenanya, waktu Widodo kecil kelas 3 SD sudah mengenal pasar dan berlanjut hingga lebih dewasa. Di pasar itulah ia membeli dagangan sayur mayur untuk dijual kembali di rumah budhe. Hampir lepas SMP, sang budhe/pakdhe tidak sanggup lagi membeayai Widodo kecil untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ledakan tangis dan air mata mengiasi rumah bambu sederhana. Beruntung ada orang yang berbaik hati memberi uang pendaftaran ke SMA, sekaligus memberi pekerjaan setelah pulang sekolah sampai jam 9 malam. Senyum mengembang karena bisa melanjutkan sekolah, sekalipun harus mencari beaya sendiri bahkan harus membantu ekonomi keluarga budhe/pakdhe. Kondisi ini sampai waktu kuliah pada semester 4.

(Piece of the story was over there. Little Widodo, at the age of 4 years had left his father. It is still remember clearly, his mother tried to show to his father, little Widodo was expelled from his father. After that is no longer associated with his father. In the sequel, the mother left the child to aunt. had no children. Widodo stayed with his aunt for 2 years, after it was deposited another aunt and must migrate to the city of Solo in 1965. Again this his aunt also not given offspring, has no economy and education were lucky. Therefore, when a little Widodo grade 3 elementary school already know the market and continue until more mature. In the market for merchandise that he bought vegetables for resale at aunt’s home. Almost off the yunior high school, aunt and uncle had no longer able to continue support little Widodo to a higher school level. Tears and tears filled a simple bamboo houses. Luckily there was a person who kind enough to give money to high school enrollment, while providing jobs after school until 9 p.m. Smiling, because he could continue to expand the school, even had to find their own cost should even help the economic’s family of his  aunt and uncle. This condition until the time of lectures in 4th semester.)

Sang juragan yang baik hati, di saat-saat jelang akhir hayatnya, berkeinginan mewariskan hartanya, sebuah toko kelontong kecil, untuk bisa dilanjutkan usahanya. Dengan pertimbangan tersendiri Widodo remaja menolak pemberian tersebut. Namun Widodo remaja dipesankan untuk bisa merampungkan kuliah. Jatuhlah harta warisan juragan tersebut ke adik pemilik toko tersebut.

(The shop’s owner who was kind, in a moment near the end of his life, wanted to bequeath his property, a small grocery store, to be able to continue his efforts. With separate consideration Widodo teenagers  refused to grant it. But Widodo teens was ordered to complete college. The shop’s owner estate fell into the store owner’s brother.)

25 September 1983, hari itulah hari perkawinan Widodo remaja dengan ibu dari ketiga anak saya yang hidup, Setyaningsih. Ia lahir di Solo, 28 Juli 1962 silam. Ia dari keluarga yang biasa-biasa saja, atau boleh disebut sekarang dari keluarga miskin seperti saya. Dari perkawinan ini lahir anak kami yang pertama, bayi laki-laki, putih, dengan berat 4.7 kg. Namun, yang Kuasa menghendaki lain, dan dipanggillah lagi saat itu juga. Setahun kemudian lahirlah anak yang kedua, perempuan, dengan berat badan 3.98 kg. Anugrah yang sangat membahagiaan, dan kami beri nama Anindya Wahyu Widyaningsih, lahir 31 Juli 1985 dengan ceasar.

(September 25th, 1983, the day that the marriage Widodo adolescents with a mother of three children who live, Setyaningsih. She was born in Solo, July 28, 1962 earlier. She was from a family of mediocre, or may be called today from a poor family like me. From this marriage of our first born child, a baby boy, with weighing 4.7 kg. However, the other wanted power, and called for more right away. A year later, a second child was born, female, weighing 3.98 kg. Grace that was the happy, and we namedAnindya Wahyu Widyaningsih, born July 31th, 1985 by Caesar.)

Ia meniti studinya dari TK Aysiah 8 Jagalan Surakarta, SDN 81 Jagalan Surakarta, SMP Negeri 10 Surakarta, SMA Negeri 1 Surakarta, Fakultas Kedokteran UNS-Solo. Alhamdulillah 22 Oktober 2009 telah disumpah dan dilantik menjadi dokter baru.

(She was pursuing her studies from kindergarten Aysiah 8 Jagalan Surakarta, Jagalan SDN 81 Surakarta , SMP 10 Surakarta, SMA Negeri 1 Surakarta, Faculty of Medicine, UNS-Surakarta. In October 22th, 2009 has been sworn in and inaugurated a new doctor.)

Tanggal 1 Agustus 2010, ia disunting oleh pemuda pujaannya, Andita Gunadarma, S.T. Semoga menjadi keluarga yang mandiri, sakinah, mawadah, wa rahmah, mendapat keturunan yang sholeh dan sholihah. Dan 5 Desember 2012 lahirlah cucu laki-laki kami pertama, Athar Naswan Wigunar, namanya).

(August 1st, 2010, she married by the young hero, Andita Gunadarma, S.T. May be an independent family, sakinah, mawadah, wa rahmah, get children sholeh and sholihah. And on 5 December 2012 was born, Athar, our first grandson).

Anak selanjutnya lahir pada tanggal 09 September 1988 dengan berat badan 4.35 kg. Lagi-lagi ini anugrah bagi kami, walaupun ekonomi kami sangat sempit. Andesthi Wahyu Widyaningsih, kami paterikan nama pada si jabang bayi tersebut. Beranjak ia menjadi anak yang tumbuh. Ia mengawali pendidikannya di TK Aysiah Kampungsewu, SDN 81 Jagalan Surakarta, SMP Negeri 8 Surakarta, SMA Negeri 2 Surakarta, Fakultas Ekonomi UNS-Solo, Jurusan Manajemen. Alhamdulliah, 31 Juli 2o12 telah menyelesaikan kuliahnya.

(The next child was born on September 9th, 1988 with 4:35 kg body weight. Again, this grace for us, although our economy is very narrow. Revelation Andesthi Wahyu Widyaningsih, we name on the baby.

She moved into the child growing. She started his education at kindergarten Aysiah Kampungsewu, SDN 81 Jagalan Surakarta, SMP Negeri 8 Surakarta, SMA Negeri 2 Surakarta, Faculty of Economics, UNS- Surakarta, Department of Management. Alhamdulliah, on July 31,  2012, she has completed her study)

Tiga belas tahun kemudian lahirlah Brontoseno kecil, menurut mbah buyutnya. Lama kami menanti, 05 Desember 2001 lahir bayi laki-laki dengan ceasar dengan berat badan 3.8 kg. Auriga Wahyu Widyadana Ramadhan, demikian kedua mbaknya dan bapak-ibunya memberikan nama. Ia masih kelas VII SMP Negeri 3 Surakarta, yang sebelumnya 5 SDN 3 Jaten Karanganyar, namun sebelumnya di TK Aysiah 10 Jaten Karanganyar, kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Surakarta, dan sekarang di SMA Negeri 1 Sukoharjo.

(Thirteen years later “Small Brontoseno” was born, according to the grand-grandmathor’s prediction. Our long wait, December 5th, 2001, baby boy was born with a Caesar with 3.8 kg weight. Auriga Wahyu Widyadana Ramadhan, so both older sisters’ and father-mother to give names. He is still in the 8th grade of SMPN 3 Surakarta, previously was SDN 3 Jaten, Karanganyar, but earlier in kindergarten Aysiah 10 Jaten, Karanganyar, then continued at SMP Negeri 3, and now at SMA Negeri 1 Sukoharjo..)

“Wahyu” dan “Widya” dua kata yang kami lekatkan pada nama anak-anak kami, yang merupakan wahyu bagi kami, semoga ketiganya akan tetap mendapatkan wahyu dan ilmu.

(“Wahyu” and “Widya” two words that we attach to the name of our children, which is a revelation for us, hopefully all three will still get the revelation and science.)

Mohon doanya.

(Please pray for us)