MENCARI MODEL OTOMASI PERPUSTAKAAN UNS: usulan
MENCARI MODEL OTOMASI PERPUSTAKAAN UNS: usulan
Widodo H. Wijoyo[1]
Perjalanan Otomasi Perpustakaan
Tidak bisa dipungkiri bahwa, tuntutan komunitas terhadap perpustakannya agar dapat menyediakan dan melayani kebutuhan informasi dalam berbagai format secara cepat dan akurat. Kebutuhan informasi ini akan bisa terpenuhi apabila informasi yang dikelola memang tersedia dan tersedianya sarana akes yang memadahi. Sarana akses ini termasuk terwujudnya otomasi (komputerisasi) perpustakaan.
Otomasi (komputerisasi) perpustakaan mutlak diimplementasikan. Beberpa hal yang melatarbelakanginya adalah:
· jumlah terbitan/koleksi yang perlu dikelola meningkat
· kebutuhan informasi oleh pengguna meningkat
· jenis layanan yang perlu disediakan meningkat
· jumlah pengguna yang dilayani meningkat
· adanya keterbatasan SDM perpusatakaan
· untuk efektifitas dan efisiensi waktu pengelolaan dan pelayanan informasi
· untuk memenuhi tuntutan TI
· untuk meningkatkan prestise perpustakaan
· agar perpustakaan tidak terisolasi
· untuk mengembangakan “resourcesharing”
Perjalanan otomasi Perpustakaan Pusat UNS diawali pada tahun 1990 dengan hadirnya Bibliofile, sumbangan dari IDP Australia, untuk membangun database bibliografi sekaligus mencetak katalog kartu. Tahun 1993-an muncul SIPERPUS. Ide awal memang bagus, namun dalam perjalannya, sistem ini tidak bisa diharapkan. Dua tahun kemudian, 1995, UKKP (Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan Perguran Tinggi) Jakarta, mendistribusikan Dynix secara gratis, hanya terbatas pada “cataloguing modul”, modul untuk membangun database bibligrafi dan penelisurannya.
Perpustakaan Pusat UNS telah mewujudkan impiannya setelah adanya Proyek DUE dengan terimplementasinya aplikasi Dynix, paket “integrated software” untuk manajemen, pelayanan dan akses informasi pada tahun 1997. Bersamaan dengan itu pula, Perpustakaan UNILA (Universitas Lampung) dan UNEJ (Universitas Jember) juga mengimplementasikan atomasi dengan aplikasi yang sama. Dynix, produk Australia, menjadi pilihan, karena untuk mengembangakan Dynix yang sudah ada, dan pada waktu itu di dalam negeri belum banyak para pengembang software melirik perpustakaan. Kalaulah ada, fasilitas yang dimilikinya masih dibilang sangat dangkal.
Investasi yang ditaman untuk pengembangan perpustakaan pada waktu memang tidak tanggung-tanggung, boleh dibilang anggaran yang tidak ada tandingannya apabila dibandingkan dengan anggaran DIP, yang notabennya anggaran dari APBN, untuk perpustakaan. Apalagi waktu itu nilai tukar rupiah sedang di bawah tekanan dolar Amerika paling bawah.
Kurun waktu 8 (delapan) tahun, 1997-2005, Perpustakaan Pusat dikawal dengan aplikasi tersebut degan kebesaran, kebanggaan dan berbagai fasilitas yang dimilikinya. Dengan segala keramahannya yang dimiliki aplikasi tersebut – disinyalir belum ada tandingannya untuk ukuran waktu itu, bahkan mungkin sekarang – telah memberikan kontribusi yang nyata bagi komunitas pengelola dan penggunanya. Data bibliografi akan dengan mudah dan cepat diakses dari lingkungan UNS, bahkan dengan telnetnya telah masuki jaringan global. Demikian pula untuk keperluan pelayanan sirkulasi, transaksi peminjman akan mudah dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat.
Dengan keterbatasan SDM yang mampu mendampingi operasionalnya, Dynix ini menjadi tumpuan sekaligus andalan dalam mengelola, pelayanan dan akses informasi. Karena disadari atau tidak, untuk mengimplementasikan aplikasi otomasi perpustakaan ini dibutuhkan investasi yang “gedhe” dan diperlukan keuletan, kesabaran, ketelitian, ketaatan asas dan kekonsistenan dalam mewujudkan database bibliografi dan keanggotaan. Dengan kedua database inilah transaksi peminjaman bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Pemikiran untuk mengembangkan aplikasi tersebut tentulah ada. “Migrate” ke versi windows dan memiliki “user license” tanpa batas menjadi cita-cita bagi para pengelola perpustakaan pada waktu itu. Namun, impian itu kandas seiring dengan berakhirnya Proyek DUE. Masih beruntung bahwa, “maintenance” sudah terbayar oleh Proyek DUE sampai tahun 2002. Setelah itu, hanya berbekal modal “utak-atik” dan coba-coba, aplikasi ini mampu berjalan sesuai yang diharapkan.
Kendala
Sayangnya, investasi yang besar ini harus terseok lantaran salah satu modul, Cataloguing Modul – modul untuk pengolahan data bibliografi – akhir tahun 2005 ngadat, tidak mau bekerja. Padahal maintenance untuk software ini sudah berakhir. Hal ini disinyalir pasokan listrik yang tidak stabil dan menyebabkan mati-hidupnya sang “server”. Kondisi ini membuat kegiatan pengembangan database bibliografi terhenti. Namun, sebagai sarana akses data bibliografi dan transaksi peminjman, aplikasi ini masih bisa dihandalkan, termasuk fasilitas penelusuran dengan operator: “boolean” dan “truncations”.
Sepeninggal Proyek DUE, permasalahan maintenance menjadi terabaikan lantaran beaya maintenace tersebut terbilang tinggi untuk ukuran negeri ini. Katakalan 1 (satu) tahun saja lebih dari AUD$5,000 harus dikeluarga oleh Proyek DUE pada waktu itu.
Dengan pincangnya satu modul, Cataloguing Modul, membawa dampak tidak bertambahnya data bibliografi. Ini berarti, koleksi baru yang diterima untuk sementara tidak menjadi bagian dari aplikasi Dynix. Untuk maintenance modul yang ngadat, pengelola perpustakaan telah melakukan kontak dengan perusahaan pembuat software Dynix. Alhasil, “fixing” Cataloguing Modul bisa dilaksanakan sekaligus migrasi ke versi windows, penambahan user lisence menjadi 100, dan beaya maintenance selama yang ditinggalkan, Perpusakaan Pusat harus menyediakan dana sebesar AUD$102,173.36. Sungguh suatu dilema, di satu sisi kita membutuhkan maintenance, di sisi lain beaya sangat fantanstis untuk ukuran kita.
Dari pengamatan penulis, kendala ini nampaknya masih bisa diatasi dengan model “kanibal”. Artinya, perlu dilakukan install ulang Dynix yang “blank” datanya lalu mengimpor data yang aktif dan melakukan setup. Ini pernah dilakukan penulis dan berhasil.
Aplikasi Baru Ditawarkan
Setelah hampir satu tahun dalam kevakuman penambahan data bibliografi, aplikasi baru, UNSLA (UNS Library Automation), buatan lokal, diimplementasikan mendampingi aplikasi pendahulunya. Dengan segala keterbatasannya dan terkadang tersendat di sana-sini, aplikasi ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan otomasi di masa mendatang. Bahkan di akhir tahun 2006, aplikasi ini telah menjadi jaringan global.
Sekalipun masih dalam keterbatasannya, namun usaha dan terobosan ini perlu mendapatkan acungan jempol. Bahkan rencana untuk menggandeng perpustakaan fakultas bergabung dan atau menggunakan UNSLA perlu mendapat respon positif dari rekan-rekan pengelola perpustakaan fakultas. Sebagai catatan bahwa, fakultas: Hukum, Ekonomi, FKIP dan Kedokteran, telah mengimplementasikan otomasi dengan software yang lain, dan boleh dibilang telah mapan. Sedangkan F. MIPA, F Teknik, dan FISIP masih dalam tahap pembangunan database bibliografi. Gagasan ini dilontarkan dengan mempertimbangkan bahwa, selama ini database bibliografi masih terpecah-pecah dengan karakteristik sistem yang digunakan oleh masing-masing fakultas, apalagi database belum bisa diakses melalui jaringan global.
Untuk ini, tentunya perpustakaan-perpustakaan yang telah mengimplementasikan otomasinya akan dihadapkan pada dua pilihan antara “migrate” ke aplikasi baru atau tetap bertahan pada aplikasi yang lama. Apalagi ternyata pilihan jatuh pada bergabung dan atau mengunakan UNSLA, maka akan mendapatkan stimulan sebesar Rp. 5,5 juta dari Pusat, sebagai uang lelah entri data. Sungguh suatu “iming-iming” yang menggiurkan.
Perlu diketahui bahwa, migrate ke aplikasi baru tentunya akan menimbulkan permasalahan baru, baik pengelola maupun pengguna perpustakaan harus melakukan penyesuaian dengan aplikasi baru. Belum lagi konversi data yang mungkin belum tentu “compatible” dengan karakteristik aplikasi baru. Yang tidak boleh dikesampingkan adalah bahwa, sistem baru tersebut belum tentu lebih unggul jika dibandingkan dengan sistem yang sudah berjalan. Atau boleh dikatakan, fasilitas yang disediakan oleh aplikasi lama belum tentu lebih rendah jika dibandingkan dengan aplikasi baru.
Pertimbangan
Beberapa pertimbang yang bisa disarankan dalam menentukan model otomasi perpusatkaan UNS. Pertama, memilih dan menggunakan software untuk perpustakaan, menurut Ikhwan Arif, Koordinator TI Perpustakaan UGM, perlu mempertimbangkan kriteria sebagai berikut :
· Kehandalan: mampu menangani operasi pekerjaan dengan intensitas yang tinggi/besar dan terus menerus,
· Kegunaan: fasilitas yang ada sesuai dengan kebutuhan dan menghasilkan informasi tepat pada waktu (realtime) dan relevan untuk proses pengambilan keputusan,
· Ekonomis: biaya yang dikeluarkan sebanding untuk mengaplikasikan software sesuai dengan hasil yang didapatkan,
· Kapasitas: mempunyai daya simpan data dengan jumlah besar dengan kemampuan temu kembali yang cepat dan akurat,
· Sederhana: menu-menu yang disediakan dapat dijalankan dengan mudah dan interaktif dengan pengguna,
· Fleksibel: dapat diaplikasikan di beberapa jenis sistem operasi dan institusi serta memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Kedua, konsep sentraliasi dan desentralisasi. Konsep sentralisasi berarti adanya pengabungan database dari perpustakaan-perpustakaan fakultas dan pusat. Di sini perpustakaan fakultas berfungsi sebagai clients, sehingga satu komando dan peraturan dari perpustakaan pusat. Salah satu dari penerapan konsep sentralisasi ini adalah jika peminjaman untuk satu kategori pengguna sebanyak 3 (tiga) eksemplar, maka semua perpustakaan harus mengikuti aturan peminjaman tersebut.
Kerepotan yang muncul dengan konsep sentrasilasi ini adalah tentang laporan. Dalam hal ini, akan ada klaim dari masing-masing perpustakaan atau tidak terdeteksinya akivitas dari masing-masing perpustakaan.
Konsep desentralisasi berarti database bibliografi bisa menjadi satu atau berdiri sendiri-sendiri. Bagi perpustakaan yang databasenya dikelola sendiri, ada keharusan untuk meng-“upload” ke database bibliografi universitas. Di sini perpustakaan-perpustakan fakultas mempunyai otoritas, terutama dalam menentukan kebijakan pelayanan sirkulasinya.
Untuk lebih memberikan otoritas kepada perpustakaan-perpustakaan fakultas, tentunya konsep desentralisasi akan menjadi pilihan yang ideal bagi sebuah lembaga yang memiliki perpustakaan-perpustakaan cabang atau “branch libraries”. Dengan demikian akan lebih jelas, khususnya otoritas pelayanan peminjaman yang dimiliki oleh perpustakaan fakultas, siapa yang kuat koleksinya akan bisa memberikan pelayanan yang lebih jika dibandingkan dengan perpustakaan yang memiliki koleksi yang masih minim/terbatas. Di samping itu, setiap aktivitas untuk masing-masing perpustakaan akan bisa terrekam dengan jelas.
Ketiga, mempertimbangkan ada beberapa perpustakaan fakultas telah mapan implementasi otomasinya. Untuk itu, ajakan untuk bergabung dan atau memakai UNSLA dengan alasan supaya database bibliografi bisa diakses pada jaringan global, maka seyogyanya diantisipasi dengan membuat “link“ pada domain Perpustakaan Pusat ke masing-masing perpustakaan fakultas. Sehingga dengan demikian, pengguna lewat jaringan global akan bisa memilih ke perpustakaan mana yang mereka inginkan.
Keempat, sejalan dengan butir ketiga di atas, biarlah perpustakaan yang telah menggunakan softwarenya, namun perlu disediakan sarana konversi database agar database yang telah ada bisa diterima oleh UNSLA dan menyatu dengan database bibliografi universitas.
Kelima, menyadari begitu pentingnya otomasi perpustakaan yang berjalan dengan lancar, cepat dan akurat, maka perlu ditempatkan seorang programmer atau asisten programmer di Perpustakaan Pusat. Hal ini dengan pertimbangan bahwa, selama ini UNSLA mengandalkan programmer dari unit kerja lain, padahal beban kerja programmer tersebut begitu besar dan luas lingkupnya. Selain itu, dalam perjalanan implementasi otomasi diperlukan penambahan/pengembangan fasilitas di sana-sini, belum lagi “troubleshooting” perlu diatasi segera dan setiap saat. Jika perlu, Perpustakaan Pusat memiliki programmer sendiri yang terlebih dahulu harus melakukan magang untuk mempelajari struktur program dan database yang ada.
Keenam, bagi perpustakaan yang belum beruntung untuk mengimplementasikan otomasi, mungkin terkendala oleh pengadaan hardware dan software, Perpustakaan Pusat perlu mensuplai hardware dan software yang diperlukan beserta instalasinya, agar bisa mengejar ketinggalannya dari perpustakaan yang lain.
———————————-
[1] Pengampu Program Diploma III Ferpustakaan FISIP UNS