PENDIDIKAN PENGGUNA DI PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI: prediksi tentang kendala pelaksanaannya

PENDIDIKAN PENGGUNA DI PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI

prediksi tentang kendala pelaksanaannya

oleh Widodo H. Wijoyo

Abstract:

Perpustakan dan pustakawannya berada dalam lingkaran informasi dari berbagai subject dan alat akses-nya yang semakin hari semakin semakin membengkak kualitas dan kuantitasnya. Konsekuensinya, mereka harus membimbing para pengguna perpustakaan untuk mengakses informasi, agar mereka menjadi pengguna yang mandiri. Usaha bimbingan tersebut, yang lazim di perpustakan-perpustakaan lain disebut sebagai User Education, Bibliographic Instruction, Reader Education, dsb-nya seringkali terbentur berbagai kendala. Di mana salah satunya bersumber dari dalam diri mereka sendiri. Kendala-kendala tersebut dapat teratasi hanya dengan kesungguhan dan kiat baik dari pada para pengelola perpustakaan itu sendiri.

Artikel ini mencoba sedikit mengetengahkan apa yang sebenarnya menjadi kendala tersebut, sekaligus sedikit saran pemecahannya.

A PERPUSTAKAAN DAN “INFORMATION EXPLOSION”

Dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia ditandai dengan meledaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mengakibatkan perpustakaan di seluruh dunia seolah-olah kebanjiran informasi. Untuk mengantisipasi gejala tersebut, perpustakaan harus selalu meningkatkan perannya, tak hanya dalam arti mengolah, menyajikan, mencari dan menyebarluaskan informasi, tetapi harus bisa juga mendorong terhadap penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Membludaknya” informasi, yang lebih umum digambarkan dalam istilah “information flood” atau “oceans of information” yang menandai “the growth in the literature of science and technology”1, bertambahnya jumlah literatur di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniti, dan subject lain dalam berbagai format; fasilitas telekomunikasi; dan teknologi aplikasi terbaru, seperti: komputer, katalog online, CD-ROM(s) dalam lingkungan perpustakaan menuntut perlunya peningkatan fungsi perpustakaan. Rader2 (1993) mengatakan

“In 1991 the environment in libraries has changed a great deal. We are now dealing with technologies that allow user to dial-up for information ….”.

Hal ini menuntut perpustakaan untuk selalu mendekatkan informasi dan alat aksesnya supaya para penggunanya dengan mudah, cepat dan akurat dapat menemukan informasi yang mereka perlukan, baik itu informasi yang ada dalam “printed materials”: baik itu buku atau periodical, maupun yang disebut “electronically stored”.

B PERPUSTAKAAN DAN PENGGUNANYA

Dalam dunia ilmu perpustakaan, semua mengetahui bahwa yang paling sering menggunakan perpustakaan PT adalah staff pengajar, mahasiswa dan para peneliti, dan juga tenaga administrasi yang ingin mencari informasi untuk mendukung tugas sehari-hari. Sekalipun jumlah tenaga administrasi terlalu kecil jika dibanding kandengan pengguna yang lain.

Setiap pengguna datang ke perpustakaan dengan maksudnya sendiri-sendiri. Hal itu akan tergantung dari background pendidikannya, disiplin ilmu atau tugas yang diembannya. Hasil survey (1992) yang dilaksnakan oleh Perpustakan Nasional Indonesia mengatakan bahwa, dari 5.527 responden 25.85 % datang ke perpustakaan untuk mencari informasi. Urutan selanjutnya dari hasil survey tersebut adalah 24.69 % hanya untuk membaca; 23,01 % untuk membuat makalah, paper, tugas, dll.; dan sisanya dibagi atas keperluan: studi pustaka, mencari literatur, alasan lainnya dan tidak menjawab.

Staff pengajar memanfaatkan perpustakaan untuk mencari informasi guna persiapan perkuliahan atau untuk meng-update informasi dalam risetnya. Hanya informasi yang bagaimana yang disyaratkan oleh mereka, Suprenant3 mengidentifikasi bahwa

“Teaching staff needs information that is complete, organised, relevant, accessible, interesting/useful, and in an appropriate format”.

Para peneliti, termasuk juga mahasiswa program pasca sarjana tentunya datang ke perpustakaan untuk mengakses informasi guna kelanjutan riset dan studi mereka. Oleh karenaanya, merekalah yang paling sering mencari dan memanfaatkan artikel-artikel terbaru di jurnal. Dan jurnallah merupakan salah satu sumber informasi yang paling memungkinkan untuk memuat itu.

Sedangkan mahasiswa program S1 dan diploma mengunjungi perpustakaan untuk membaca literature perkuliahannya. Mereka ingin memperluas wawasannya setelah selesai kuliah atau untuk menyelesaikan berbagai tugas: paper, riset dan penulisan skripsinya.

C PERLUNYA PENDIDIKAN PENGGUNA

Pengguna perpustakan, terutama mahasiswa dan tenaga pengajar baru, sering belum mengenal perpustakaan. Mereka tidak tahu letak koleksi, bagai mana cara menggunakannya, dan layanan-layanan apa yang tersedia diperpustakannya. Bahkan, pernah penulis jumpai, seorang mahasiswa yang tampaknya angkatan lama belum tahu apa itu katalog.

Melihat kenyataaan yang demikian menyedihkan, mereka harus diberi arahan, diberikan petunjuk tentang bagaimana memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada di perpustakaan. Mereka harus diajarkan bagaimana menggunakan alat-alat itu untuk mengakses informasi, bagaimana memanfatkan layanan yang disediakan oleh perpustakaan, diajarkan pula di mana mereka bisa menanyakan apabila mereka menemui kesulitan atau mereka tidak menemukan koleksi yang diinginkan sedangkan perpustakaan tidak memilikinya.

Adalah juga tanggungjawab pustakawan untuk memberikan mereka ketrampilan menggunakan sumber-sumber informasi, termasuk journals, indexes, abstracts, dsb. dan alat-alat elektronik; dan membuat mereka “comfortable” terhadap sumber-sumber informasi dan teknologi tersebut, sehingga di masa mendatang mereka dapat memanfaatkan perpustakaan dengan mudah, cepat dan percaya diri. Inilah salah satu segi dari misi perpustakan untuk turut mensukseskan tujuan pendidikan nasional. Rader4 mengatakan di tahun 90-an ini, karena kemampuan atau kemahirannya dalam mengolah dan mengakses informasi, pustakawan perguruan tinggi adalah dalam posisi yang sangat vital untuk mensukseskan pendidikan tinggi.

D BEBERAPA KENDALA YANG SERING DIJUMPAI DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN PEMAKAI

Namun sampai saat ini, masih kita jumpai persepsi pustakawan yang mengatakan bahwa, para pengguna harus secara otomatis tahu dan bisa menggunakan perpustakaan. Mereka berasumsi bahwa, pengguna tersebut telah dewasa dan tentunya mampu mandiri; dengan sendirinya mereka harus tahu banyak bagaimana seharusnya menggunakan perpustakaan. Anggapan semacam ini masih dijumpai di perustakaan di mana penulis bekerja. Dan tentunya masih akan dijumpai di perpustakaan perguruan tinggi yang lain.

Namun di sisi lain, sebagian besar pustakawan telah mencoba merubah pandangan yang demikian dengan membuka kesadaran bahwa, pengguna perlu bantuan dan petunjuk dalam memanfaatkan perpustakaan. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan di bidang perpustakaan dan informasi yang mereka dapatkan pada akhir-akhir ini yang memberi penekanan pada layanan kepada pengguna. Tidak dipungkiri lagi di sini, dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang boleh dibilang belum memadai mereka telah menyelenggarakan pendidikan pengguna yang oleh perpustakaan-perpustakaan di negara maju disebut “user education”, “bibliographic instruction”, “user training”, “information literacy”, “reader education” “research library skills”, dll.

Kenyataan menyadarkan kita bahwa, pelaksanaan pendidikan pengguna di beberapa perpustakaan perguruan tinggi belumlah berkembang atau belumlah dilaksanakan secara professional seperti yang kita diharapkan, atau bahkan belum dilaksanakan oleh sejumlah perpustakaan. Hal terakhir terungkap dari hasil survey oleh Perpustakaan Nasional kita (1992): dari 5.527 responden (pengguna perpustakaan) 49.71 % menyatakan tidak ada bimbingan pengguna. Mungkin telah terjadi salah penafsiran terhadap usaha perpustakaan yang telah dilaksanakan. Di sisi perpustakaan, sebenarnya telah melaksanakan bimbingan pengguna, sekalipun masih dalam taraf dasar sekali (misalnya: pemasangan rambu-rambu atau tanda-tanda di perpustakaan), namun dari sisi pengguna, hal tersebut belumlah dianggap sebagai bimbingan pengguna. Ini yang perlu diterjemahkan oleh pustakawan, sehingga sekalipun masih berskala kecil tetapi merupakan usaha pustakawan untuk membimbing penggunanya.

Hal belum berkembangnya pendidikan pengguna dimungkinkan karena (i) masih terbatasnya pengertian akan arti dan pentingnya pendidikan pengguna dari sejumlah rekan pustakawan sendiri. Alasan ini sangat mendasar sekali, karena masih sangat minimnya literatur dan informasi mengenai pendidikan pengguna. Walaupun kita tahu bahwa, Direktorat Jendaral Pendidikan Tinggi melalui Sub Proyek Pembinaan Perpustakaan Perguruan Tinggi telah menerbitkan buku “Panduan pelaksanaan pendidikan pengguna di perguruan tinggi”, literatur dan informasi dari perpustakaan-perpustakaan negara maju yang mengetengahkan berbagai “issues” dan “trends” pendidikan pengguna yang berada di dekat pustakawan tentunya akan sangat membantu dalam pelaksanaan pendidikan pengguna. Dari alasan yang mendasar tadi akan menimbulkan effek terhadap pelaksanaan pendidikan pengguna, misalnya: (a) kurang atau tidak adanya “written policy statement” dari masing-masing perpustakaan; (b) kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan pendidikan pengguna, baik antara staff perpustakaan maupun dengan staff dosen; (c) kurangnya dana dan fasilitas yang lain, hal ini karena masih adanya anggapan yang merendahkan terhadap status atau posisi pustakawan dan perpustakaan, sehingga aktivitas perpustakaan sering terbentur birokrasi yang berbelit dan sempitnya dana.

Hal lain (ii) yang dianggap sebagai benturan dalam pelaksanaan pendidikan pengguna, adalah karena kurangnya tenaga dalam arti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Dari segi kualitas, yang diperlukan untuk mensukseskan pelaksanaan pendidikan pengguna adalah: pengalaman dan pendidikan, bisa berkomunikasi secara jelas dan efektif, mempunyai kemapuan dalam “public relations”, ramah, sabar, dewasa, mempunyai motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas tersebut, dll. Dari segi kuantitas diharapkan adanya jumlah yang cukup dari pustakawan yang mempunyai kualitas tersebut di atas guna melaksanakan tugas tersebut. (iii) Kurangnya dukungan dari pustakawan dari bagian lain. Hal ini masih sering kita jumpai anggapan “tugasmu adalah tanggungjawabmu sendiri”, dan belum adanya rasa kebersamaan untuk memiliki dan menyajikan layanan perpustakaan.

E SARAN PEMECAHANNYA

Melihat beberapa kemungkinan yang dianggap sebagai kendala yang mengakibatkan kurang lancarnya pelaksanaan pendidikan pengguna, maka usulan pemecahan masalah tersebut adalah (i) menggalakkan tentang pengertian akan arti dan pentingnya pendidikan pengguna kepada seluruh staff perpustakaan. Hal ini dapat dilakukan dengan diskusi antar sejawat sendiri, adanya seminar, workshops, training dalam bidang pendidikan pengguna, pengiriman pustakawan untuk mengikuti pendidikan formal dan non-formal. Kunjungan ke perpustakaan lain yang sejenis adalah dalam upaya untuk studi banding yang tentu saja akan besar manfaatnya, dll. (ii) Dalam hal kurangnya literature dan informasi, dapat disarankan (a) setiap pustakawan yang telah menyelesaiakan pendidikannya (terutama dari luar negeri) diwajibkan membawa pulang literaturnya; (b) instansi yang berwenang menerbitkan buku-buku panduan untuk perpustakaan diharapkan terus menerbitkan edisi yang terbaru yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan perpustakaan; (c) adanya saling tukar menukar informasi mengenai koleksi dalam bidang pendidikan pengguna khususnya dan umumnya dalam bidang perpustakaan, sehingga dengan demikian perpustakaan lain akan bisa mengcopy. (d) Usahakan menambah koleksi dengan menyelipkan dalam proyek pembelian buku.

Dalam hal kurangnya atau belum adanya “written policy statement”, nampaknya sebaiknya segera diformulasi. Dengan adanya “written policy statement” tadi akan menjadi bahan pedoman bagi pustakawan untuk melaksanakan tugas tersebut, karena hal tersebut akan mencakup: misi perpustakaan, tujuan dan daftar sasaran yang hendak dicapai, materi apa yang akan dibicarakan, apa yang harus dilaksanakan untuk mencapai sasaran tersebut, metoda dan media apa yang dipergunakan, dll. Wall5 dalam thesisnya mengemukakan:

“……….. a way of clarifying points, ensuring everyone understands those points, ensuring that all points necessary are covered, and establishes a bench mark in relation to future activities. It can be as simple as writing a ‘to-do’ list for the day’s activities or as complex as a major strategic plan for a large organisation”.

Sedangkan Shill6 menegaskan model “strategic planning” akan berbeda satu dengan lainnya, tetapi umumnya mengandung pernyataan misi organisasi, pernyataan tujuan, dan sasaran- sasaran yang hendak dicapai. Dia menambahkan

“A planning exercise will help to move the organization from its current situation to a ‘desired future’ by identifying opportunities, competition, environmental trends, and clientele needs and then devising strategies for reaching objectives and moving towards long-range goals”.

Jalinan kerjasama antar bagian perpustakaan dan juga dengan staff pengajar, akan sangat membantu dalam mencapai tujuan pendidikan pengguna. Adanya diskusi dengan staff pengajar, akan dapat diketahui apa yang diharapkan dari para mahasiswa mengenai perpustakaan. Sehingga dengan demikian akan dapat dengan mudah menetapkan topik-topik yang akan diberikan dalam pendidikan pengguna.

Dana merupakan tiang penyangga yang fundamental dari semua aktivitas. Namun, terkadang dia adalah “momok” apabila tak berada dekat dengan pustakawan, sehingga dana sering dipakai sebagai alasan yang utama sebagai ketidak berhasilan kegiatan. Dengan tersedianya dana yang cukup, belumlah menjamin semua aktivitas akan berjalan dengan sempurna. Hal ini akan kembali lagi kepada faktor manusianya sebagai pengendali segala aktivitas. Kiat pustakawan yang sungguh-sungguh dan pantang menyerah untuk melaksananan pendidikan pengguna, tentunya dapat dijadikan sebagai indikator untuk keberhasilan peraihan dana. Karena pada dasarnya, tanpa adanya usaha yang sungguh-sungguh, mustahil dana akan tersedia. Atau dengan kata lain, tak ada dana yang datang dengan sedirinya di hadapan pustakawan, jika tak ada usaha dari pustakawan itu sendiri. Untuk hal ini ibu Parlinah7 dalam kongres Pustakawan se Asia Tenggara ke-8 di Jakarta mengatakan bahwa,

“The funds will never come by themshelves if careful plans and proposals are not made and submitted and justifications are not supplied. Activities in the library services could be done only with manpower and enough funding support”.

Telah disinggung di atas, manusianyalah yang memegang peranan yang amat penting dalam pengendalian aktivitas perpustakaan. Peningkatan kualitas pustakawan dapat dilaksanakan dengan (a) mengadakan diskusi di antara teman sejawat di lingkungannya; (b) penyelenggaraan seminar, workshops, simposium dll. adalah salah satu upaya peningkatan kualitas pustakawan; (c) memberi kesempatan seluas-luasnya bagi staff yang memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan formal maupun non-formal; (d) mendorong pustakawan untuk aktif mengadakan penelitian. Sedang mengenai kwantitas dapat disarankan di sini (a) mengalihtugaskan staff dari bagian lain; (b) meminjam untuk sementara staff dari bagian lain; (c) menambah staff baru.

Selain dukungan finansial, dukungan moralpun sangat dibutuhkan karena merupakan salah satu aset demi suksesnya aktivitas perpustakaan. Pandangan yang merendahkan status atau posisi perpustakan dan pustakawan lambat-laun akan sirna apabila antara lain (a) tingkat pendidikan pustakawannya meningkat; (b) publikasi dan pendidikan pengguna selalu digalakkan karena merupakan sarana yang ampuh untuk mempromosikan perpustakaan, sehingga pengguna dan masyarakat di sekitarnya akan menaruh kepercayaan terhadapnya; (c) mungkin, penggantian nama-nama bagian akan juga ikut andil untuk meningkatkan citra perpustakaan, misalnya: Sub Bagian Sirkulasi Koleksi bisa diganti dengan Sub Divisi Sirkulasi Koleksi, Sub Bagian Pengembangan Koleksi menjadi Sub Divisi Pengembangan Koleksi, Sub Bagian Katalogisasi menjadi Sub Divisi Katalogisasi. Sedangkan pucuk pimpinan perpustakaan yang kita sebut sebagai Kepala Perpustakaan bisa diganti dengan menggunakan istilah asingnya Library Manager atau Library Executive atau Chief Librarian. Upaya penggantian nama tersebut, bukannya untuk merobah aturan atau pedoman yang ada, yang tentunya akan merepotkan birokrasi semata. Bolehlah kita tetap akan menggunakan istilah yang dibakukan tersebut untuk urusan-urusan resmi (administrasi) dengan instansi yang lebih atas, namun untuk urusan yang ada hubungannya dengan pengguna, apa salahnya kita menggunakan dengan nama-nama tersebut. Seperti orang Jawa mengakui bahwa, nama akan membawa karakter bagi siempunya; untuk trend saat ini, pemberian nama kepada anaknya akan dipilih yang sebagus-bagusnya. Dan juga diakui bahwa, sebuah nama akan memberikan makna dalam jalan kehidupan si empunya dan dipercayai pula akan membawa keberuntungan baginya.Hal ini tentunya dalam upaya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya dalam masyarakat. Siapa yang akan mengangkat “derajat” perpustakawan dan pustakawannya, kalau bukan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia perpustakaan sendiri. Semoga.

F PENUTUP

Mudah-mudahan uraian yang singkat ini, akan menambah topik untuk bahan diskusi guna mengkaji kebenarannya. Dan semoga pula dengan tulisan ini dapat menambah wacana di bidang pendidikan pengguna pada khususnya, dan umumnya dalam bidang ilmu perpustakaan. Tiada hal yang sempurna, kecuali Dia yang Maha Tunggal.

——————

REFERENCES:

1. FLEMING, Hugh. User education in academic libraries. London: Library Association, 1990.

2. NATIONAL LIBRARY OF INDONESIA & INDONESIAN LIBRARY ASSOCIATION. New Challenges in library services in the developing world: proceedings of the Eighth Congress of Southeast Asian Librarians. Jakarta, 11-14 June 1990/editor, Sulistyo-Basuki [et al.]. Jakarta: National Library of Indonesia & Indonesian Library Association, 1991.

3. PERPUSTAKAAN NASIONAL R.I. Survey dan kajian perpustakaan perguruan tinggi: kajian pelayanan di 7 propinsi. Jakarta: Perpustakaan Nasional R.I., 1992.

4. RADER, Hannelore B. “ From library orientation to information literacy: 20 years of hard work” in What is good instruction now? Library instruction for the 90s. Linda Shirato, ed. Ann Arbor, Michigan: Pierian Press, 1993.

5. RADER, Hannelore and William Coons. “Information literacy: one response to the new decade” in The evolving educational mission of the library. [editors Betsy Baker and Mary Ellen Litzinger]. Chichago, IL: Bibliographic Instruction Section, Association of College and Research Libraries, American Library Association, 1992.

6. ROBERT, Anne F. and Susan G. Blandy. Library instruction for libraries. 2nd ed. Englewood, Colorado: Libraries Unlimited, 1989.

7. SHILL, Harold B. “Bibliographic instruction: electronic information environment” in College and research libraries. 48, no. 5, (Sept. 1987).`

8. SURPRENANT, Thomas T. “Welcome to obsolescence: what is good instruction now?” in What is good instruction now? Library instruction for the 90s. Linda Shirato, ed. Ann Arbor, Michigan: Pierian Press, 1993.

9. WALL, Lana Frances. Reader education and teaching methodologies in Australian academic libraries: with particular reference to CD-ROM. Thesis. University of Tasmania. Department of Library and Information Studies, 1992.


1 Lim, Edward Huck Tee. “Access to information: a new challenge for developing countries” in New Challenges in library services in the developing world: proceedings of the Eighth Congress of Southeast Asian Librarians. Jakarta, 11-14 June 1990/editor, Sulistyo-Basuki [et al.]. Jakarta: National Library of Indonesia & Indonesian Library Association, 1991. p.: 351.

2 Rader, Hannelore B. “ From library orientation to information literacy: 20 years of hard work”. in What is good instruction now? Library instruction for the 90s. Linda Shirato, ed. Ann Arbor, Michigan: Pierian Press, 1993., p.: 25.

3 Surprenant, Thomas T. “Welcome to obsolescence: what is good instruction now?” in What is good instruction now? Library instruction for the 90s. Linda Shirato, ed. Ann Arbor, Michigan: Pierian Press, 1993., p.: 1.

4 Rader, Hannelore and Coons, William. “Information literacy: one response to the new decade” in The evolving educational mission of the library. [editors Betsy Baker and Mary Ellen Litzinger]. Chichago, IL: Bibliographic Instruction Section, Association of College and Research Libraries, American Library Association, 1992., p.: 109.

5 Wall, Lana Frances. Reader education and teaching methodologies in Australian academic libraries: with particular reference to CD-ROM. Thesis. University of Tasmania. Department of Library and Information Studies, 1992. p.: 33.

6 Shill, Harold B. “Bibliographic instruction: electronic information environment” in College and research libraries. 48, no. 5, (Sept. 1987) p.: 438-439.

7 Moedjono, Parlinah. “Services within university communities” in New Challenges in library services in the developing world: proceedings of the Eighth Congress of Southeast Asian Librarians. Jakarta, 11-14 June 1990/editor, Sulistyo-Basuki [et al.]. Jakarta: National Library of Indonesia & Indonesian Library Association, 1991. p.: 111.